Lahan Kopi di Hutan Lindung Tak Berizin
MAGELANGEKSPRES.COM,TEMANGGUNG - Petani kopi yang selama ini menanam kopi di wilayah hutan lindung milik Perhutani, masih belum memiliki izin dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK). Padahal sejak 2016 Kementerian LHK telah menetapkan program Perhutanan Sosial (PS). Bahkan selama memanfaatkan lahan hutan lindung milik Perhutani, terutama bagi petani kopi di Kecamatan Ngadirejo yang memanfaatkan kawasan hutan negara, khususnya di wilayah Kecamatan Ngadirejo pada areal kerja Perhutani RPH Kwadungan, BKPH Temanggung, KPH Kedu Utara Utara. Mereka dibebani dengan pungutan. \"Selama ini terjadi pungutan dengan dalih sebagai bagi hasil atau taksasi atas tanaman kopi di kawasan hutan negara, khususnya di wilayah Kecamatan Ngadirejo,\" kata pemantau independen yang juga Ketua Lingkar Studi Pemberdayaan Perdesaan, Andrianto, Kamis (25/6). Ia menuturkan, pungutan atas nama tanaman kopi ini terindikasi belum memilki dasar hukum/legalitas yang sah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan yang berlaku. \"Dasar hukum untuk melakukan pungutan atau bagi hasil belum jelas, namun hal itu sudah dilakukan. Ini jelas menyalahi aturan yang berlaku,\" tuturnya. Sejak 2016 Kementerian LHK telah menetapkan program PS sebagai bentuk pemberian akses legal dalam mengelola dan memanfaatkan hutan kepada masyarakat, baik di kawasan hutan lindung maupun hutan produksi. Baca juga Dua Hari, 70 Pasien Covid-19 Sembuh, Masyarakat Tak Perlu Tergesa-gesa Masuk New Normal Program PS ini diatur dalam dua ketentuan yaitu Peraturan Menteri LHK P.83/2016 tentang Perhutanan Sosial dan P.39/2017 tentang Perhutanan Sosial di Wilayah Kerja Perum Perhutani. Menurut dia selama ini masyarakat menggarap hutan negara berdasarkan perjanjian kerjasama dengan pihak Perhutani dan belum memiliki izin dari Kementerian LHK tersebut. \"Awal penggarapan hutan lindung milik Perhutani hanya berdasarkan perjanjian kerjasama saja. Nah sejak ada peraturan tersebut dasar penggarapan seperti itu tidak dibenarkan lagi,\" terang Andrianto. Ia menyampaikan dengan ditetapkannya PS tersebut maka masyarakat selaku penggarap lahan hutan negara, baik di kawasan hutan lindung maupun hutan produksi wajib mengajukan permohonan kepada Kementerian LHK melalui Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan selaku unit pelaksana teknisnya. Pengakuan hukum/legal bagi masyarakat yang telah mengajukan program PS adalah diberikannya Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS) atau Keputusan Perlindungan dan Pengakuan Kemitraan Kehutanan dari Kementerian LHK selaku instansi pemerintah pusat dalam pengurusan dan pengelolaan sumberdaya hutan di Indonesia. Pungutan yang dibebankan sebagai bagi hasil atas tanaman kopi di lahan hutan negara yang berjalan sejak ditetapkannya program PS ini terindikasi dilakukan belum memiliki izin dari Kementerian LHK berupa IPHPS. \"Selaku pemantau independen di bawah Dirjen Pengelolaan Hutan Produksi Lestari, Kementerian LHK telah melayangkan surat resmi kepada Administratur Perhutani KPH Kedu Utara pada 4 Juni 2020 untuk menghentikan pungutan dengan dalih sebagai bagi hasil tanaman kopi yang berlangsung sejak tahun 2018,\" katanya. Namun, hingga saat ini Administratur Perhutani KPH Kedu Utara belum memberikan tanggapan resmi terkait permohonan penghentian pungutan atas tanaman kopi tersebut. PS merupakan haluan baru dalam pengelolaan hutan baik di kawasan hutan lindung maupun hutan produksi yang menekankan pada keadilan masyarakat setempat, mengurangi kemiskinan, pengangguran dan mengatasi ketimpangan dalam pemanfaatan hutan yang selama ini berjalan di Indonesia. Pihaknya berharap, Administratur Perhutani KPH Kedu Utara segera menanggapi permasalahan ini, sehingga kedepan keabsahan dalam pengelolaan lahan milik negara bisa sesuai dengan aturan yang berlaku saat ini. (set)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: